MOTO:
Sentiasa berusaha untuk melaksana & mendapat yang terbaik; Sentiasa bersedia menghadapi sebarang kemungkinan yang buruk. ( Hope for he best; be prepared for the worst)

KEYAKINANKU:
Allah tidak membebankan hambaNya kecuali apa yang mampu ditanggung olehnya.(Maksud Surah alBaqarah)
Allah sentiasa berikan yang terbaik untuk hambaNya. Berdoa & berharaplah hanya padaNya, Tuhan yang satu!

DOAKU PADAMU, YA ALLAH:

Ya Allah , aku tidak pernah memohon untuk dikecilkan ujianMu tapi ku sentiasa berharap Kau besarkanlah iman di hatiku utk menempuh sgala ujianMu dgn redha dan tabah. Rahmatilah aku dalam setiap nafas yg masih berbaki. Amiin.

Monday, February 23, 2015

Hak isteri poligami

(Artikel yang disalin drpd group whatsapp yang juga dipetik drpd sumber lain )

Di antara hak setiap isteri dalam poligami adalah sebagai berikut:

A. Memiliki rumah sendiri


Setiap isteri memiliki hak untuk mempunyai rumah sendiri. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam surat Al Ahzab ayat 33, yang artinya, “Menetaplah kalian (wahai isteri-isteri Nabi) di rumah-rumah kalian.” Dalam ayat ini Allah Azza wa Jalla menyebutkan rumah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam bentuk jamak, sehingga dapat dipahami bahwa rumah beliau tidak hanya satu.
Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari, Aisyah Radhiyallahu ‘Anha menceritakan bahwa ketika Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sakit menjelang wafatnya, baginda Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bertanya, “Dimana aku besok? Di rumah siapa?’ Baginda Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menginginkan di tempat Aisyah Radhiyallahu ‘Anha, oleh karena itu isteri-isteri beliau mengizinkan beliau untuk dirawat di mana saja baginda menginginkannya, maka baginda dirawat di rumah Aisyah sampai baginda wafat di sisi Aisyah. Baginda Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam wafat pada hari giliran Aisyah. Allah mencabut ruh baginda dalam keadaan kepala baginda bersandar di dada Aisyah Radhiyallahu ‘Anha.

Ibnu Qudamah rahimahullah menjelaskan dalam kitab Al Mughni bahwasanya tidak pantas seorang suami mengumpulkan dua orang isteri dalam satu rumah tanpa redha dari keduanya. Hal ini dikhuatiri dapat menjadikan penyebab kecemburuan dan permusuhan di antara keduanya.

Tidak boleh mengumpulkan para isteri dalam satu rumah kecuali dengan redha mereka juga merupakan pendapat dari Imam Qurthubi di dalam tafsirnya dan Imam Nawawi dalam Al Majmu Syarh Muhadzdzab.


B. Menyamakan para isteri dalam masalah giliran


Setiap isteri harus mendapat hak giliran yang sama. Imam Muslim meriwayatkan hadis yang artinya; Anas bin Malik menyatakan bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memiliki 9 isteri. Kebiasaan baginda Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bila menggilir isteri-isterinya, baginda mengunjungi semua isterinya dan baru berhenti (berakhir) di rumah isteri yang mendapat giliran saat itu.

Ketika dalam berpergian, jika seorang suami akan mengajak salah seorang isterinya, maka dilakukan undian untuk menentukan siapa yang akan ikut serta dalam perjalanan. Imam Bukhari meriwayatkan bahwa Aisyah Radhiyallahu ‘Anha menyatakan bahwa apabila Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam hendak bermusafir, baginda mengundi di antara para isterinya, siapa yang akan baginda Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sertakan dalam musafirnya. Baginda Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam biasa menggilir setiap isterinya pada hari dan malamnya, kecuali Saudah bintu Zam’ah karena hak gilirannya telah diberikan kepada Aisyah Radhiyallahu ‘Anha.

Imam Ibnul Qoyyim menjelaskan bahwa seorang suami diperbolehkan untuk masuk ke rumah semua isterinya pada hari giliran salah seorang dari mereka, namun suami tidak boleh menggauli isteri yang bukan waktu gilirannya.
Seorang isteri yang sedang sakit maupun haid tetap mendapat hak giliran sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, bahwa Aisyah Radhiyallahu ‘Anha menyatakan bahwa jika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ingin bermesraan dengan istrinya namun saat itu isteri Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sedang haid, beliau memerintahkan untuk menutupi bagian sekitar kemaluannya.

Syaikh Abdurrahman Nashir As Sa’dy rahimahullah, ulama besar dari Saudi Arabia, pernah ditanya apakah seorang isteri yang haid atau nifas berhak mendapat pembahagian giliran atau tidak. Beliau rahimahullah menyatakan bahwa pendapat yang benar adalah bagi isteri yang haid berhak mendapat giliran.


C. Tidak boleh keluar dari rumah isteri yang mendapat giliran menuju rumah yang lain .


Seorang suami tidak boleh keluar untuk menuju rumah isteri yang lain yang bukan gilirannya pada malam hari kecuali keadaan darurat. Larangan ini disimpulkan dari hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim yang menceritakan bahwa ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam di rumah Aisyah Radhiyallahu ‘Anha, tidak lama setelah baginda berbaring, baginda bangkit dan keluar rumah menuju kuburan Baqi sebagaimana diperintahkan oleh Jibril alaihi wa sallam. Aisyah Radhiyallahu ‘Anha kemudian mengikuti baginda karena menduga bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam akan pergi ke rumah isteri yang lain. Ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pulang dan mendapatkan Aisyah Radhiyallahu ‘Anha dalam keadaan termengah-mengah, baginda Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bertanya kepada Aisyah Radhiyallahu ‘Anha, “Apakah Engkau menyangka Allah dan Rasul-Nya akan berbuat tidak adil kepadamu?”

Imam Ibnu Qudamah Rahimahullah menyatakan tidak dibolehkannya masuk rumah istri yang lain di malam hari kecuali darurat, misalnya si isteri sedang sakit. Jika suami menginap di rumah isteri yang bukan gilirannya tersebut, maka dia harus mengganti hak isteri yang gilirannya diambil malam itu. Apabila tidak menginap, maka tidak perlu menggantinya.


D. Batasan Malam Pertama Setelah Pernikahan

Imam Bukhari meriwayatkan dari Anas Radhiyallahu ‘Anhu bahwa termasuk sunnah bila seseorang menikah dengan gadis, suami menginap selama tujuh hari, jika menikah dengan janda, ia menginap selama tiga hari. Setelah itu barulah ia menggilir isteri-isteri yang lain.
Dalam hadits riwayat Muslim disebutkan bahwa Ummu Salamah Radhiyallahu ‘Anha mengkhabarkan bahwa ketika Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menikahinya, beliau menginap bersamanya selama tiga hari dan beliau bersabda kepada Ummu Salamah, “Hal ini aku lakukan bukan sebagai penghinaan kepada keluargamu. Bila memang engkau mau, aku akan menginap bersamamu selama tujuh hari, namun aku pun akan menggilir isteri-isteriku yang lain selama tujuh hari.”

E. Wajib menyamakan nafkah


Setiap isteri memiliki hak untuk mempunyai rumah sendiri-sendiri, hal ini berkonsekuensi bahwa mereka makan sendiri-sendiri, namun bila isteri-isteri tersebut ingin berkumpul untuk makan bersama dengan keredhaan mereka maka tidak apa-apa.

Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa bersikap adil dalam nafkah dan pakaian menurut pendapat yang kuat, merupakan suatu kewajiban bagi seorang suami.
Imam Ahmad meriwayatkan bahwa Anas bin Malik Radhiyallahu ‘Anhu mengabarkan bahwa Ummu Sulaim mengutusnya menemui Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan membawa kurma sebagai hadiah untuk baginda Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Kemudian kurma tersebut untuk dibagi-bagikan kepada isteri-isteri baginda segenggam-segenggam.

Bahkan ada keterangan yang dibawakan oleh Jarir bahwa ada seseorang yang berpoligami menyamakan nafkah untuk isteri-isterinya sampai-sampai makanan atau gandum yang tidak bisa ditakar / ditimbang karena terlalu sedikit, beliau tetap membaginya tangan pertangan. Namun perlu diambil kira pembahagian nafkah mengikut keperluan tanggungan suami dalam rumahnya.

F. Undian ketika safar

Bila seorang suami hendak melakukan musafir dan tidak membawa semua istrinya, maka ia harus mengundi untuk menentukan siapa yang akan menyertainya dalam safar tersebut.

Imam Bukhari rahimahullah meriwayatkan bahwa kebiasaan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bila hendak musafir, baginda mengundi di antara para isterinya, siapa yang akan diajak dalam musafir tersebut.
Imam Ibnu Qudamah menyatakan bahwa seorang yang bermusafir dan membawa semua istrinya atau menginggalkan semua isterinya, maka tidak memerlukan undian.
Jika suami membawa lebih dari satu isterinya, maka ia harus menyamakan giliran sebagaimana ia menyamakan di antara mereka ketika tidak dalam keadaan bermusafir.

G. Tidak wajib menyamakan cinta dan jima’ di antara para istri

Seorang suami tidak dibebankan kewajiban untuk menyamakan cinta dan jima’ di antara para isterinya. Yang wajib bagi dia memberikan giliran kepada isteri-isterinya secara adil.

Ayat “Dan kamu sekali-kali tiadak dapat berlaku adil di antara isteri-isteri (mu), walaupun kamu sangat ingin demikian” ditafsirkan oleh Ibnu Katsir rahimahullah bahwa manusia tidak akan sanggup bersikap adil di antara istri-istri dari seluruh segi. Sekalipun pembagian malam demi malam dapat terjadi, akan tetapi tetap saja ada perbedaan dalam rasa cinta, syahwat, dan jima’.
Ayat ini turun berkenaan Aisyah Radhiyallahu ‘Anha. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sangat mencintainya melebihi isteri-isteri yang lain. Baginda Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Ya Allah inilah pembagianku yang aku mampu, maka janganlah engkau cela aku pada apa yang Engkau miliki dan tidak aku miliki, yaitu hati.”

Muhammad bin Sirrin pernah menanyakan ayat tersebut kepada Ubaidah, dan dijawab bahwa maksud surat An Nisaa’ ayat 129 tersebut dalam masalah cinta dan bersetubuh. Abu Bakar bin Arabiy menyatakan bahwa adil dalam masalah cinta diluar kesanggupan seseorang. Cinta merupakan anugerah dari Allah dan berada dalam tangan-Nya, begitu juga dengan bersetubuh, terkadang berghairah dengan istri yang satu namun terkadang tidak. Hal ini diperbolehkan asal bukan disengaja, sebab berada diluar kemampuan seseorang.

Ibnul Qoyyim rahimahullah menyatakan bahwa tidak wajib bagi suami untuk menyamakan cinta di antara isteri-isterinya, karena cinta merupakan perkara yang tidak dapat dikuasai. Aisyah Radhiyallahu ‘Anha merupakan isteri yang paling dicintai Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Dari sini dapat diambil pemahaman bahwa suami tidak wajib menyamakan para isteri dalam masalah jima’ karena jima’ terjadi karena adanya cinta dan kecondongan. Dan perkara cinta berada di tangan Allah Subhanahu wa Ta’ala, Zat yang membolak-balikkan hati. Jika seorang suami meninggalkan jima’ karena tidak adanya pendorong ke arah sana, maka suami tersebut dimaafkan. Menurut Imam Ibnu Qudamah rahimahullah, bila dimungkinkan untuk menyamakan dalam masalah jima, maka hal tersebut lebih baik, utama, dan lebih mendekati sikap adil.
Penulis Fiqh Sunnah menyarankan; meskipun demikian, hendaknya seoarang suami memenuhi kebutuhan jima isterinya sesuai kadar kemampuannya.
Imam al Jashshaash rahimahullah dalam Ahkam Al Qur’an menyatakan bahwa, “Dijadikan sebagian hak isteri adalah menyembunyikan perasaan lebih mencintai salah satu isteri terhadap isteri yang lain."

** Fahami hak anda sebagai isteri dlm poligami..jika redha yg dipilih utk melepaskan hak kerana rela dek somi x mampu..itu pilihan yg baik utk seorg isteri yg solehah 💚💚💚☝